Sabtu, 14 Juli 2012

MY TEACHER IS MY FRIEND

Waktu zaman saya SMA kelas XI 2 tahun yang lalu, kami mempunyai seorang bapak guru muda kira-kira umurnya baru 25an tahun. Beliau mengajar teknologi informasi dan komunikasi yang sering kita sebut sebagai pelajaran TIK waktu itu. Bisa ditebak apa yang terjadi ketika beliaau mengajar. Banyak teman perempuan saya yang bukannya mendengarkan pelajaran yang disampaikan, tetapi malah sibuk ngrumpi memperolok tampilan sang guru yang bisa dibilang “culun”. Dengan gaya rambut belah tengah dan tampilan yang bisa dibilang unik, membuat teman-teman saya sering kali meremehkan dan tidak menghormatinya sebagaimana selayaknya guru.
Ada lagi guru Bahasa Inggris saya, masih pada masa-masa SMA, seorang guru yang mendapat predikat dari teman-teman saya sebagai guru terkiller karena “kekejamannya” dalam memerikan tugas. Bagaimana teman-teman tidak protes kalau setiap kali selesai pelajaran selalu memberi tugas yang kalau ditumpuk bisa melebihi lantai dua kelas kami. Selain itu beliau juaga termasuk guru yang sangat perfeksionis. Segala hal harus dikerjakan dengan sesempurna mungkin. Pernah suatu kali kami mendapat tugas membuat Application Letter ( surat lamaran kerja-red) yang persis seperti aslinya lengkap dengan lampiran berupa pas foto, fotokopi ijazah, kartu kuning, SKCK, fotokopi KTP, TOEFL, sertifikat kursus bahasa Inggris dan komputer, serta daftar riwayat hidup. Dan yang leih kejamnya lagi, tulisan yang kami buat tidak boleh sedikitpun ada coretan dan harus benar seperti yang tertera pada EYD baik berupa penuliasan tanda baca, spasi, huruf besar dan huruf kecil, sampai dengan ukuran tulisan. Karenanya banyak sekali teman saya yang tidak suka kepada beliau. Sampai ada beberapa teman saya yang menjailinya dengan  menukar letak parkir motor guru saya dan diganti dengan motor yang serupa. Alhasil sang guru pun kebingungan karana kunci motornya tidak dapat masuk.
Demikian sikap sebagian murid zaman sekarang yang kadang tidak mau menghargai guru. Beranggapan bahwa guru adalah sama seperti mereka. Anggap saja teman sendiri. Padahal kalau dilihat pada zaman dulu, guru adalah sosok yang sangat disegani. Bahkan menatap wajahnya pun tidak ada yang berani. Bukan karena wajahnya yang menyeramkan, tetapi wibawa dan karisma yang dimiliki  seorang guru yang membuat murid-muridnya sangat hormat. Tetapi dewasa ini, seolah wibawa dan karisma seorang guru telah luntur seiring berjalannya waktu. Seperti pengalaman saya pribadi yang telah saya tulis di atas, banyak sekkali murid yang tidak menghargai gurunya. Bahkan sampai menyepelekannya. Hal tersebut dapat dikarenakan oleh kurang tegasnya guru atau bisa juga karena guru terlalu dekat dengan murid sehingga menganggap guru  seperti temannya.
Walaupun saat ini guru tidak boleh menghukum secara fisik dan dianjurkan untuk membaur dengan murid, tetapi bukan berarti bahwa wibawa dan kairisma menjadi seorang guru harus hilang. Seorang pendidik haruslah punya wibawa. Seorang pendidik harus tegas. Tegas bukan berarti             keras. Tegas bukan berarti harus memukul, tetapi tegas adalah berani bilang salah jika memang salah dan berani bilang benar apabila memang benar. Tegas berarti berani menepati seluruh peraturan yang ada. Tegas itu disegani bukan ditakuti.
Selain itu, sebagai murid yang baik, sebagai generasi muda penerus bangsa yang baik, kita harus menghormati jasa-jasa guru kita. Jika tidak karena jasa guru kita, kita tidak akan seperti sekarang. Kita tidak bisa membbaca, mmenulis, dan berhitung tanpa jasa guru. Kita buaknlah siapa-siapa tanpa jasa guru. Mulai dari sekarang, mari kita hargai guru—guru kita. Mereka yang telah membawa kita sampai menjadi seperti sekarang ini. Kita tidak mungkin bisa jadi dokter, arsitek, apoteker, pengusaha tanpa jasa guru-guuru kita. Kita tidak akan sesukses saat ini tanpa guru-guru kita. Jadi izinkan saya berseru
GENERSI MUDA YANG SUKSES, GENERASI MUDA PENERUS BANGSA YANG BAIK ADALAH GENERASI MUDA YANG MENGHARGAI JASA GURU-GURUNYA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar