Waktu
zaman saya SMA kelas XI 2 tahun yang lalu, kami mempunyai seorang bapak guru
muda kira-kira umurnya baru 25an tahun. Beliau mengajar teknologi informasi dan
komunikasi yang sering kita sebut sebagai pelajaran TIK waktu itu. Bisa ditebak
apa yang terjadi ketika beliaau mengajar. Banyak teman perempuan saya yang
bukannya mendengarkan pelajaran yang disampaikan, tetapi malah sibuk ngrumpi
memperolok tampilan sang guru yang bisa dibilang “culun”. Dengan gaya rambut
belah tengah dan tampilan yang bisa dibilang unik, membuat teman-teman saya
sering kali meremehkan dan tidak menghormatinya sebagaimana selayaknya guru.
Ada
lagi guru Bahasa Inggris saya, masih pada masa-masa SMA, seorang guru yang
mendapat predikat dari teman-teman saya sebagai guru terkiller karena
“kekejamannya” dalam memerikan tugas. Bagaimana teman-teman tidak protes kalau
setiap kali selesai pelajaran selalu memberi tugas yang kalau ditumpuk bisa
melebihi lantai dua kelas kami. Selain itu beliau juaga termasuk guru yang
sangat perfeksionis. Segala hal harus dikerjakan dengan sesempurna mungkin.
Pernah suatu kali kami mendapat tugas membuat Application Letter ( surat
lamaran kerja-red) yang persis seperti aslinya lengkap dengan lampiran berupa
pas foto, fotokopi ijazah, kartu kuning, SKCK, fotokopi KTP, TOEFL, sertifikat
kursus bahasa Inggris dan komputer, serta daftar riwayat hidup. Dan yang leih
kejamnya lagi, tulisan yang kami buat tidak boleh sedikitpun ada coretan dan
harus benar seperti yang tertera pada EYD baik berupa penuliasan tanda baca,
spasi, huruf besar dan huruf kecil, sampai dengan ukuran tulisan. Karenanya
banyak sekali teman saya yang tidak suka kepada beliau. Sampai ada beberapa
teman saya yang menjailinya dengan
menukar letak parkir motor guru saya dan diganti dengan motor yang
serupa. Alhasil sang guru pun kebingungan karana kunci motornya tidak dapat
masuk.
Demikian
sikap sebagian murid zaman sekarang yang kadang tidak mau menghargai guru.
Beranggapan bahwa guru adalah sama seperti mereka. Anggap saja teman sendiri.
Padahal kalau dilihat pada zaman dulu, guru adalah sosok yang sangat disegani.
Bahkan menatap wajahnya pun tidak ada yang berani. Bukan karena wajahnya yang
menyeramkan, tetapi wibawa dan karisma yang dimiliki seorang guru yang membuat murid-muridnya
sangat hormat. Tetapi dewasa ini, seolah wibawa dan karisma seorang guru telah
luntur seiring berjalannya waktu. Seperti pengalaman saya pribadi yang telah
saya tulis di atas, banyak sekkali murid yang tidak menghargai gurunya. Bahkan
sampai menyepelekannya. Hal tersebut dapat dikarenakan oleh kurang tegasnya
guru atau bisa juga karena guru terlalu dekat dengan murid sehingga menganggap
guru seperti temannya.
Walaupun
saat ini guru tidak boleh menghukum secara fisik dan dianjurkan untuk membaur
dengan murid, tetapi bukan berarti bahwa wibawa dan kairisma menjadi seorang
guru harus hilang. Seorang pendidik haruslah punya wibawa. Seorang pendidik
harus tegas. Tegas bukan berarti keras.
Tegas bukan berarti harus memukul, tetapi tegas adalah berani bilang salah jika
memang salah dan berani bilang benar apabila memang benar. Tegas berarti berani
menepati seluruh peraturan yang ada. Tegas itu disegani bukan ditakuti.
Selain
itu, sebagai murid yang baik, sebagai generasi muda penerus bangsa yang baik,
kita harus menghormati jasa-jasa guru kita. Jika tidak karena jasa guru kita,
kita tidak akan seperti sekarang. Kita tidak bisa membbaca, mmenulis, dan
berhitung tanpa jasa guru. Kita buaknlah siapa-siapa tanpa jasa guru. Mulai
dari sekarang, mari kita hargai guru—guru kita. Mereka yang telah membawa kita
sampai menjadi seperti sekarang ini. Kita tidak mungkin bisa jadi dokter,
arsitek, apoteker, pengusaha tanpa jasa guru-guuru kita. Kita tidak akan
sesukses saat ini tanpa guru-guru kita. Jadi izinkan saya berseru
GENERSI
MUDA YANG SUKSES, GENERASI MUDA PENERUS BANGSA YANG BAIK ADALAH GENERASI MUDA
YANG MENGHARGAI JASA GURU-GURUNYA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar